Cianjur, eskoncer.com, 12 November 2024 – Perkembangan terbaru kasus Antonius Anak Lukminto, terdakwa yang didiagnosa skizofrenia paranoid dan dituduh terlibat dalam kasus judi online, memperlihatkan adanya kejanggalan serius terkait perlindungan hak asasi dan kebutuhan medisnya selama berada dalam tahanan. Pada tanggal 25 September 2024, pihak Lapas mengirimkan surat kepada Ketua Pengadilan Negeri Cianjur dengan tembusan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Cianjur. Isi surat tersebut meminta pemeriksaan lanjutan atas kesehatan Antonius guna mencegah kemungkinan sakit berkelanjutan yang lebih parah. Surat itu menyebutkan kondisi Antonius yang menunjukkan tanda-tanda gangguan mental seperti gelisah, pembicaraan yang tidak nyambung, insomnia, dan halusinasi, namun hingga kini terdakwa tidak mendapat akses pengobatan maupun obat-obatan yang penting bagi stabilitas mentalnya.
Pihak keluarga baru mengetahui kondisi Antonius yang tak kunjung menerima perawatan medis dari salah satu petugas Lapas yang bekerja di dalam. Mereka kini memiliki bukti surat tersebut sebagai dokumen resmi yang menyatakan kondisi Antonius yang sangat memerlukan perhatian medis. Melihat situasi ini, pada agenda sidang pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada 11 November 2024, kuasa hukum Antonius,Bapak Advokat Donny Andretti, S.H., S.Kom., M.Kom., C.Md., Ketua Umum FERADI WPI dari Subur Jaya Lawfirm, mengajukan permohonan pembantaran agar Antonius mendapatkan perawatan yang layak di psikiater.
Lebih lanjut, keluarga Antonius mempertanyakan keabsahan pemeriksaan kejiwaan terdakwa yang dilakukan di RS Sartika Asih Bandung dengan metode SCL-90. Pemeriksaan ini diklaim sebagai visum psikiatri yang menyatakan Antonius dapat bertanggung jawab atas tindak pidana yang dituduhkan. Namun, hasil konsultasi keluarga di RSCM dengan Dr. Natalia, pimpinan SPKJ forensik, menyebutkan bahwa metode SCL-90 tidak memenuhi standar visum psikiatri karena metode ini hanya mengukur tingkat kecemasan dan depresi, bukan gangguan psikotik. Menurut Dr. Natalia, pemeriksaan tersebut melanggar Permenkes No. 77 tentang standar pemeriksaan kejiwaan dan tidak bisa dijadikan dasar menilai tanggung jawab hukum Antonius. JPU seharusnya membuktikan kondisi mental terdakwa pada saat peristiwa terjadi, bukan saat ini, karena SCL-90 tidak dapat mendeteksi gejala psikotik yang relevan dengan kejadian di masa lalu.
Keluarga juga menerima pesan WhatsApp yang tidak sesuai fakta, mengklaim bahwa Antonius telah dibawa berobat ke RS Sartika Asih dan diberi obat Ativan serta Olanzapine, padahal kenyataannya perawatan tersebut tidak pernah diberikan. Keadaan ini semakin mempersulit akses Antonius terhadap pengobatan yang dia butuhkan. Di persidangan, Dr. Fransisca Irma Simarmata, SPKJ yang dihadirkan JPU, menyatakan bahwa Antonius membutuhkan pengobatan berkelanjutan, karena putusnya pengobatan dalam jangka panjang dapat meningkatkan risiko relaps yang serius.
Pihak keluarga berharap pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap proses hukum yang berjalan agar terdakwa mendapatkan keadilan yang adil dan manusiawi. Lydia Oktavia, adik kandung Antonius, menyatakan, “Kami meminta pemerintah mengawasi kasus ini dengan baik agar hakim dapat berlaku adil. Jangan sampai keadilan datang terlambat dan kondisi kesehatan Antonius semakin memburuk tanpa penanganan yang layak.”
Dengan adanya permohonan pembantaran, keluarga besar Antonius berharap agar pengadilan dan aparat hukum dapat melihat permasalahan ini secara objektif dan profesional, serta memberikan perlakuan yang manusiawi bagi Antonius sebagai seorang yang membutuhkan pengobatan psikiatri secara rutin.
Benny & team